Salam Budaya!
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang maju adalah masyarakat yang menghargai seni budaya. Berbekal keyakinan ini, maraknya pertumbuhan teater-teater sekolah dalam beberapa tahun terakhir di kota Pontianak , merupakan fenomena yang sangat menggembirakan. Sekadar menyebutkan beberapa contoh (mohon maaf, jika ada yang tidak tercantum), ada Sanggar Seni Budaya Cadar (SMKN 3), Sanggar Pituah Enggang (SMA 8), Teater Gelombang (SMAN 2), Teater Aladin (MAS Mujahidin), Teater Muda (SMA Muhammadiyah 2), Teater Tembak (SMA Bhayangkari), Teater Masker (SMPN 2) dan lain sebagainya.
Sebagai institusi kolektif, yang didalamnya terdapat individu-individu, serta dipengaruhi ruang, waktu, pemikiran dan perkembangan jaman, sanggar-sanggar tersebut menjalani sifatnya yang alamiah, yaitu proses. Sehingga ada sanggar yang setelah sekali pementasan lalu kemudian mati suri, ada yang berkembang secara elegan, serta ada pula yang maju secara pesat.
Di sisi lain, pertumbuhan tersebut berdampak terhadap kuantitas dan kualitas penonton. Ternyata bukan hanya anak sekolah yang mengunjungi pertunjukan teater, keluarganya pun turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang setelah menamatkan studi, melanjutkan sekolahnya pada perguruan-perguruan tinggi seni di pulau Jawa.
Perkembangan positif sebagaimana digambarkan diatas, semoga tidak membuat pelaku-pelaku teater larut dalam utopia. Sebab, pembinaan teater tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada sekarang, jelas merupakan akumulasi banyak faktor. Sebut saja peran pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga, masyarakat, media massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan adalah peran dari insan-insan pelaku teater itu sendiri, yang ditunjukan lewat performa, perilaku dan unjuk karya. Dengan pemahaman seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua pihak, terutama antar pelaku seni teater, mutlak terus dilakukan.
Muara dari upaya tersebut adalah percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik keberadaan organisasi maupun hasil karya. pementasan. Kesetimbangan antara dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya kesadaran dalam masyarakat tentang arti penting teater dalam dinamika sosial, yang bukan hanya sebagai sarana penghibur semata, melainkan sekaligus sebagai media pendidikan. Di sisi lain, teater juga tumbuh dengan kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat membaca tanda-tanda jaman, untuk kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan mendalam yang selanjutnya diwujudkan dalam pementasan karya teater.
Dengan demikian, tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam benak dan hati masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga bahwa teater dalam arti keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial. Reposisi terhadap kedudukan dan fungsi teater dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara bijak. Betapa tidak, stigma buruk yang melekat pada teater, ternyata masih terlacak pada benak orang banyak. Ambil contoh ungkapan: “Ah, itukan cuma sandiwara!” Lantas, ketika seseorang yang sukes dikerjai rekannya akan mengatakan: “Busyet, akting Ente bagus!” Ketika tidak terima dengan keputusan pengadilan, pihak-pihak yang merasa dirugikan berteriak lantang: “Jangan jadikan sidang pengadilan yang terhormat ini sebagai panggung sandiwara!” Ketika terjadi kasus nyata penculikan, orang akan mengatakan peristiwa tersebut sebagai : “Drama Penculikan”. Bahkan terhadap fenomena aneh tapi nyata yang terjadi di Kalimantan Barat, yaitu tetap pedenya figur-figur pemimpin melaju menuju tahta KB 1, padahal yang bersangkutan nyata-nyata tersangkut hukum, orang yang mengaku dirinya tidak gemar politik praktis pun bisa dengan enteng mengatakan : “Ah, itukan cuma sandiwara politik...”
Sebagian contoh kasus yang penulis kemukakan di atas, menunjukkan bahwa teater kerap menjadi sasaran tembak alias kambing hitam. Imbas stigma buruk itu pernah dirasakan oleh sahabat penulis, yaitu M. Ali Nafia (Ali 13) yang merupakan salah seorang teaterawan dari Komunitas Santri (Komsan) STAIN Pontianak . Ketika itu, ia bersama beberapa rekan, mengadakan sosialisasi sekaligus menjajaki kemungkinan pembentukan sanggar teater pada salah satu SMA Negeri di Kota Pontianak . Niat yang melandasi kedatangan mereka di antaranya adalah itikad untuk mengembangkan dunia teater Pontianak , serta menyalurkan bakat dan minat siswa-siswa di sekolah tersebut. Kedatangan mereka disambut baik oleh petinggi sekolah. Setelah bertukar salam, berbincang ringan dan presentasi, maka terjadilah dialog. Singkat cerita, selain memutuskan untuk tidak mengadakan ekstrakurikuler teater pada institusi pendidikan yang dipimpinnya, Sang Decission Maker tertinggi sekolah tersebut juga menutup pembicaraan dengan kalimat: “Maaf, Dik. Kalau mau cari uang kecil, jangan di sini dan dengan cara seperti ini.”
Luar biasa, bukan? Betapa niat untuk membentuk sanggar teater sekolah dianggap setara dengan upaya mencari uang kecil alias mengemis! (Dalam hal ini, penulis angkat topi untuk semangat baja Ali 13 dan rekan yang tetap giat berteater dan mengadakan sosialisasi pada sekolah-sekolah lain. Salut!). Saat pertama mendengar kisah tersebut, penulis memberi sedikit komentar bahwa kemungkinan besar beliau sedang khilaf dan lupa-lupa ingat sekurang-kurangnya terhadap dua hal, yaitu tentang posisi dan fungsinya selaku pendidik yang salah satunya adalah keteladanan, serta tentang Taksonomi Blooms. Blooms, seorang pakar Paedegogik dunia, mengemukakan bahwa proses pembelajaran harus mencakup tiga ranah kemampuan pebelajar, yaitu kognitif (pengetahuan/akal), afektif (perasaan/sikap) dan psikomotorik (kontrol jasmani).
Dikaitkan dengan teater sekolah, selain sebagai media penyaluran minat bakat siswa, serta sebagai kawah Chandradimuka pembentukan kepribadian (Character Buildings), proses latihan teater yang kompleks, nyata-nyata selaras dengan Taksonomi Blooms. Simak saja contoh-contoh dalam latihan-latihan dasar yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan Kognitif, mulai dari reading, menghafal naskah, dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis pemeranan. Berkenan dengan kemampuan Afektif, mulai dari prev, olah rasa, kontemplasi, observasi dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita dalam naskah. Demikian pula halnya kemampaun Psikomotorik, mulai dari pemanasan, olah tubuh, olah vokal, mimik, pose, gesture, pantomime, moving, grouping dan lain sebagainya sampai kepada blocking pementasan. Sementara itu, dari sisi produksi, kemampuan menejerial, kerjasama tim, beserta lika-liku penyelenggaraan pementasan, adalah laboratorium lengkap bagi pengembangan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan intelektual siswa.
Dugaaan penulis tentang beliau yang sedikit lupa-lupa ingat tentang Taksonomi Blooms, di kemudian hari ternyata benar. Buktinya, pihak sekolah yang bersangkutan akhirnya meminta bantuan kepada salah seorang pengurus Sanggar Pituah Enggang (Pitung) untuk membentuk sanggar teater. Mengetahui hal tersebut, penulis tersenyum dan geleng-geleng kepala. Satu lagi peristiwa aneh tapi nyata terjadi di bumi Kalbar, karena setahu penulis, salah satu pihak yang membina Pitung adalah Komsan.
“Maaf , Pak. Sudah punya uang kecil, ya?”
Salam Budaya!
Penulis adalah peminat masalah sosial dan seni budaya.
Cerpenis, anggota Komunitas Seni Jalan Lain (KSJL)
STKIP PGRI Pontianak
amrin_zr@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment