2/21/09

Perjalanan ke Sepuk Laut 2

Oleh: Amrin Zuraidi Rawansyah

Wah, maaf...jika kami mengganggu urusan negara,” ujarku saat di depan pintu rumah Pak Ismail. Seseorang dengan wajah yang menyiratkan kerasnya hati, tampak serius berbincang dengan Pak Kades. Di atas meja tampak beberapa berkas. Dari informasi warga, kami baru tahu ternyata Pak Kades sesungguhnya juga baru datang dari Pontianak, menumpang klotok yang sama dengan kami. Seingatku, orang berwajah keras itu pun teman seperjalanan. Aku mengingatnya, bukan cuma dikarenakan wajahnya yang keras tegas, tapi juga karena ia mengenakan jaket yang kurang lebih sama denganku. Juga sama mengenakan pin keemasan. Jika, aku memakai pin Burung Garuda Pancasila demi menghormati salah seorang Putra Terbaik Kalbar -- Sultan Hamid II yang merancang Lambang Negara, namun kemudian terdepak oleh konstelasi politik pusat --maka aku tak dapat melihat dengan jelas pin yang ia kenakan. Entah kenapa, saat kami bertiga masuk, pin itu pun tampak seolah ditutupinya.

Setelah berbasa-basi, kami mengutarakan maksud kedatangan. Singkat cerita, orang nomor satu di Sepuk Laut menyambut baik kedatangan dan maksud kami. Mengingat target realistis yang hanya silaturahmi dan membuat janji pertemuan bakda isya malam nanti, maka kami pun segera mohon diri.

Meski tak lama, beberapa informasi penting kami dapatkan. Misalnya, sebuah PTS di Pontianak telah mengirim surat pada Camat dan memerlukan data penduduk dari setiap desa. Belum jelas apakah programnya akan sama dengan kami. Nanti kami akan gali informasi lebih dalam lagi.

Dari rumah Pak Ismail, kami kembali ke arah Pospol/Kamla. Sebelum pasar, kami tercenung melihat sebuah poster caleg. Orang berwajah keras yang kami temui tadi, ternyata caleg dari sebuah partai baru. Partai yang lumayan banyak memasang umbul-umbul di sepanjan jalan. Sebelum sampai pasar (tempat kami singgah pertama kali), kami sempat ambil pict di plang nama kantor desa. Sampai tikungan gertak, di mana terdapat bangunan Pospol/Kamla dan bangunan Babinsa, kami bertemu sesorang yang saat di klotok tadi kami ketahui merupakan kawan lama Jaka. Akhirnya, dengan diantar orang itu, kami menuju rumah keluarga Jaka, yang kemudian kami ketahui dipanggil dengan nama Mak Long.

Saat suasana mulai gelap, aku mandi dengan meminjam kain basahan keluarga Jaka. Setelah aku, Jaka dan Eman mandi bareng.

“Man, tustel di mane kau taro’?”

“Dalam tas, Bang-e...” jawab Eman sambil mulai mengguyur badannya dengan air sungai. Byurrrr....Ya, sebelumnya pun aku juga mandi dengan menggunakan gayung. Ingin berenang, air sungai sedang cetek.

“Boleh Abang ambil, ndak, Man?”
“Sile, Bang-e...”
Byurrrr....
“Ade ndak barang-barang haram di tas kau nie, Man?”
“Tadaklah, Bang-e’”
Byurrrr...

Aku mengajak Jaka mengambil tustel Ben-Q, yang sesungguhnya merupakan pinjaman dari Pak Hendra, salah satu dosen di kampus. Meski keheranan, Jaka ikut juga dengan kerjaku. Setelah menekan tombol on pada tustel, belalai fokus tustel membuka diri. Kubisikkan sesuatu pada Jaka. Jaka mengangguk penuh semangat.

“Cammane nyetel kalau nak ngambek gambar malam, Man?” tanyaku serius sambil mendekati tekape. Mereka berdua pun serius mandi. Belum mengendus rencana muliaku.

Eman menjelaskan prosedur.
Byurrr....
Aku mendekat....
Byurrr...
Lebih dekat....
Byurrrrr....
dekat.....
Byurrrr....
dan....
Klik!!!

Kilatan blitz bagai petir membungkam kesadaran mereka. Mereka gaduh. Minta pict dihapus. Tapi...setelah kuambil beberapa pict lagi, mereka mulai terbiasa. Lantas kujelaskan rencana muliaku.

“Beginek Man, juga’ kau Ndan. Abang punye niat mulie. Abang benar-benar mengharapkan kitek beduak maok memenohinye. Abang ndak banyak pintak dengan kitak kan selamak nie, kan? Jadi, semoge, hati kitak beduak tegerak memenohi niat mulie Abang. Cammane? Tulonglah....same siape lagik Abang mengharapkan bantuan. Ndak mungken same Pak Mude Obama. Sebab, Pak Mude tu sedang sibuk biken ladang di tanah Palestin,” ujarku dengan muka memelas, seolah orang yang telah tiga hari berturut tak makan di restoran.

Mereka mengangguk. Lembut. Menenangakan.

“Makaseh yang sebesak-besaknye Abang sampaikan buwat kitak beduak yang telah tesentoh hatinye membela orang-orang yang memerlukan bantuan. Orang-orang semacam kitak nielah yang harosnye jadi pemimpin bangse Borneo. Bukan macam pemimpin-pemimpin yang ade selamak nie, yang mengidap saket parah, yakni suke lupa ingatan. Mereke-mereke tu baru ingat ngan rakyetnye setiap limak taon sekali.”

“Betol, Bang,” sambut Eman dengan memposisikan gagang gayung sebagai microphone.

“Dan ketahuilah wahai anak-anak mude, calon penerus pemimpin bangse besar Borneo, adepun niat mulie Abang adalah.... nantik, kalau dah sampai di Pontianak, poto kitak beduak nie akan Abang cetak besak-besak. Kalau perlu sebesak baliho caleg kaye raye. Akan kite tarok di gedong UKM. Dengan tulesan besak di bawah gambar kitak: DUA PENGANTIN BARU SEDANG MANDI WAJIB...”

***

kembali ke atas

No comments: