10/5/07

SILSILAH RAMBU-RAMBU

Meski penerangan kafe ini remang, aku dapat membaca peta di pipi dan lehermu, kebiruan urat darah yang mendongengkan master plan kota ini. Juga sungai-sungai. Juga parit-parit. Juga gang-gang. Juga selokan-selokan. "Sudah bolehkan kita bercakap tentang visi water front city?


Namun kau bercerita tentang pesawat-pesawat Jepang yang memuntahkan bom-bom. Aku antusias. Aku diam. Namun kau berkisah tentang silsilah rambu-rambu. Aku diam. Aku senyum. Namun kau berkata tentan dikirimnya delegasi seni budaya ke negeri jiran. Aku senyum. Aku tak senyum. Namun aku ungkap berita tentang kaum cerdik cendikia yang disungkup. Aku tak senyum. Aku berlinang.

Lantas kusaksikan hujan menderas di telinga kananmu, menenggelamkan jalan-jalan arteri. Menghanyutkan puntung-puntung rokok gepeng, plastik-plastik, kardus, ranting, wajah, hati dan mimpi-mimpi pembangunan.

Kulihat pula kemarau berbulan-bulan melanda telinga kirimu. Matahari jingga, bulan jingga. Kabut menabir, putih. Haus meradang, hitam. Mata air, hitam. Air mata, hitam. Rambu, hitam. Bambu, hitam. Tunas, mati.

Pesawat-pesawat Jepang tak lagi memuntahkan bom sembilan, tapi berkeliaran di lehermu. Melanggar lampu merah. Melanggar rambu-rambu. Melanggar jemuran pakaian dalam di antara alis matamu.

03.10.07

No comments: