3/6/08

MATAHARI KHATULISTIWA

"Aku cuma ingin menunjukkan padamu, sesuatu yang bernama fokus dan sungguh-sungguh," katanya via telepon ketika aku masih berada di Tanah Jauh. Untuk kesekian kalinya aku tersengat. Entah kenapa, setiap kali berkomunikasi dengannya aku seperti terkana radiasi panas. Pantas saja kawan-kawan menjulukinya Matahari Khatulistiwa.

Ya, aku melihat api yang tak pernah padam di matanya. Dalam lelah sekalipun. Busyet. Bagiku ia tetap ORANG GILA. Orang gila yang anti NATO, No Action talks Only. Aku jadi teringat pertemuan-pertemuan awal kami. Di antaranya adalah pengalaman membuat sejarah bersama Kak Yophie Tiara.

Saat itu, kami bertiga berbincang tentang fenomena rendahnya minat baca tulis di Provinsi yang telah kehilangan generasi emasnya dalam Peristiwa Mandor ini. Tiba-tiba ia seperti kesurupan: "Ahaaa...! Kita terbitkan buku!"

Sontak aku dan Kak Jo, sapaan akrab Kak Yophie Tiara, terdiam. Warung kopi tempat kami berbincang seakan disaput atmosfir aneh. Aku dan Kak Jo saling pandang. Kemudian sama-sama tersenyum. Kak Jo menyambut positif. Karena menerbitkan buku adalah salah satu obsesinya. Namun aku, dalam pembicaraan selanjutnya, paling sengit mendebat mereka. Maaf jika ada yang tersinggung, aku idem dito dengan sebagian orang yang mengaku penulis di Provinsi ini, yang begitu fasih mengeluarkan argumen tentang kenapa tidak bisa berbuat (menulis, menerbitkan buku, dlsb) ketimbang berikhtiar untuk mengatasi kejumudan yang ada. (Dalam hal ini, yang tersinggung pasti yang belum berbuat apa-apa. Yang tidak tersinggung, mana karyanya?)

Jadilah kami kemudian menerbitkan buku secara indipenden. Buku bersejarah itu berjudul Nol Derajat (1995). Berisi kumpulan cerpen kami bertiga. Dalam prosesnya, terus terang aku adalah elemen yang nilai kontribusinya paling sedikit. Setelah Launching di Taman Budaya, kami melanjutkan program kunjungan sastra ke sekolah-sekolah. Sambutannya luar biasa. Hanya dalam tiga bulan, seribu eksemplar buku Nol Derajat ludes di dua kota, Pontianak dan Singkawang.

Sayangnya, gerak kami untuk sementara hanya sampai di situ. Persoalannya klasik, yaitu perkara manajemen yang belum profesional. Aku sendiri harus menunaikan kewajiban menyelesaikan kuliah. Kak Jo, sekarang kudengar aktif di bidang PAUD. Hanya lelaki muda berbadan ceking itu yang tetap komit dan konsisten dalam bidang kepenulisan. Ia mendirikan Pijar Publishing. Telah menerbitkan banyak buku. Terakhir adalah buku yang membuat 'demam' warga Pontianak, khususnya anak-anak muda, yaitu Pontianak teenager Under Cover. Buku yang mengangkat tema pergaulan bebas di Kota Dua Muara ini, mengundang pro kontra masyarakat. Tentang buku inilah ia menelponku untuk 'melihat' apa yang dimaksudnya dengan fokus dan sungguh-sungguh.

Ketika aku hadir lima belas hari di sini, aku tetap melihatnya sebagai MATAHARI.





No comments: