9/24/08

TURNING POINT

Adalah ia yang berbisik pada suatu subuh: "Makanya, jangan dengar omongan orang mati. Dengarlah omongan orang hidup. Orang mati, pikirannya mati".
Padahal, maaf kalau aku harus mengulang, ia berbisik. Tapi kalimat-kalimatnya menghunjam, merobek-robek gendang telingaku. Padahal, antara aku dan mereka --ia bersama rekannya, bermuka tirus -- terdapat beberapa meja kosong. Namun, kalimatnya bak proyektil mutakhir, memburu tepat pada setiap buhul serabut otakku. Padahal di meja terluar, lima pria awak kapal klotok sedang berdebat seru, namun hanya kalimatnya yang membekas di layar kesadaran.


Adalah ia yang tiba-tiba menatap jam dinding dengan wajah cemas. Kecemasan yang membujuk kesadaranku untuk mengikuti arah tatapannya. Tiga belas! Tiga Belas! Aku tergeragap. Lagi-lagi ia berbisik dengan intonasi yang tak sanggup kudeskripsikan: "Waktu kita hampir habis! Berkemaslah. Sebelum para lanun sampai di muara."
Kutatap bundar jam dinding dengan perasaan ngilu. Tiga belas angka pada setiap noktah besar yang mengelilingi bundaran jam, seakan mantera yang mematri tiap persendian. Aku tak sanggup bergerak. Bisikannya tentang waktu yang hampir habis, seakan serbuk kristal yang ditebar ke udara. Udara seketika beku. Aku beku. Bagai pelanggar kempunan yang diserapah menjadi batu.

Adalah rekannya, yang berwajah tirus itu, dengan sikap tubuh dan mimik bagai pesakitan menuju tiang gantung, berjalan menuju etalase. Mengambil sebotol minuman mineral. Menggenggam khidmat. Berkomat kamit. Kemudian kembali ke tempat semula. Setelah duduknya sempurna, ia menaruh botol minuman yang masih tersegel rapi ke atas meja. "Tenang saudaraku, dalam botol ini, waktu telah membeku."

Adalah aku yang kemudian dirajam kebingungan.

No comments: