10/13/08

KUDA NIL DI SUNGAI KAPUAS

Menyambut seminar pendidikan: Guru Vs Pergaulan Bebas Remaja
Oleh: Amrin, Spd.

ungguh menyentuh dialog antara Fachri dan Maria tentang jodoh, dalam Ayat-Ayat Cinta, baik versi novel maupun filmnya. Mereka membandingkan jodoh antara pasangan umat manusia dengan jodoh antara kejayaan peradaban Mesir dan Sungai Nil. Namun tulisan ini tidak membahas aspek sastra maupun filmis, pun bukan pada masalah jodoh cinta manusia, melainkan terinspirasi oleh perkara "jodoh" Mesir dan Sungai Nil. Perkara ini membawa pemikiran penulis pada perbandingan yang lebih membumi, apakah Kalimantan Barat umumnya dan Pontianak khususnya "berjodoh" dengan sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia?




Baiklah, kita dapat membuat kesepakatan awal bahwa antara Mesir-Sungai Nil dan Kalbar, Pontianak-Sungai Kapuas tidak dapat diperbandingkan begitu saja. Sebab dari segi kesejarahan saja, menganga jurang perbedaan. Mesir telah dimulai jauh sebelum noktah nol Masehi dibuat orang-orang Romawi. Orang-orang kuat Mesir pada jaman dahulu kala, telah berjuang mempersatukan anak-anak bangsanya yang terserak untuk kemudian menjadikannya sebagai imperium besar, yang pernah menjadi pusat dominasi kebudayaan pada masanya. Pada saat bersamaan, maksudnya dalam skala waktu geologi yang sama, apa yang terjadi di tanah kita ini? Ketika orang-orang di sana sudah merampungkan banyak piramida dan melebarkan sayap kekuasaan, apa yang dilakukan oleh datuk nenek moyang kita?

Secara teoritis kita tidak punya banyak literatur untuk mengungkap kejatidirian asal muasal. Paling-paling kita punya tinjauan antropologi umum yang salah satunya menyatakan bahwa nenek moyang kita berasal dari sekitar selatan benua Asia. Kedatangan ini terjadi dalam dua periode. Orang-orang yang datang pada periode pertama, mendiami pesisir. Ketika orang-orang pada periode kedua datang, orang-orang periode pertama menyingkir ke pedalaman.

Dari segi empiris, kita pun tidak memiliki banyak jejak-jejak sejarah. Maaf, penulis perbaiki kalimatnya: kita hanya memiliki sedikit jejak-jejak sejarah yang disebabkan sedikitnya upaya untuk menggalinya. Apakah ini disebabkan minimnya apresiasi masyarakat kita terhadap sejarah sendiri? Jika iya, kenapa sedemikian kontradiktif dengan kenyataan primordial dalam masyarakat kita? Misalnya pencantuman nama yang menisbatkan pada orang atau keluarga tertentu yang memiliki pengaruh kuat di masa lalu. Demikian pula dengan eklusivitas etnik yang kerap dijadikan komoditas politikus picik, serta masih banyak contoh lain termasuk penegasan terhadap hak-hak ulayat yang ber-efek pada kengerian investor menanamkan sahamnya di sini.

Padahal berbekal adagium terkenal dalam dunia arkeologi, antropologi, sejarah dan cabang-cabang keilmuan humaniora lainnya, yaitu: "Apa yang tidak kita ketahui, bukan berarti tidak ada", kita akan memiliki spirit dan perspektif yang progresif, yaitu tidak hanya berpangku tangan melihat fenomena yang ada, melainkan berjuang untuk menyikapinya. Dengan fenomena yang ada kita dapat melihat berbagai elemen telah bergerak. Misalnya dibukanya progam studi sejarah di STKIP PGRI Pontianak. Harapan kita, semoga saja alumni-alumninya nanti tidak semata bertugas selaku pendidik dan pengajar yang menanamkan kesadaran terhadap sejarah, melainkan terlibat aktif dalam proses kesejarahan. Demikian pula penyikapan yang dilakukan oleh dua orang luar biasa berikut ini, yaitu Syafaruddin Usman dan Turiman. Jika Syafaruddin Usman terus bergerak meneliti dan membuat buku-buku bertemakan sejarah, maka Turiman telah sedemikian gigih berjuang menyingkap kebenaran sejarah tentang peran salah seorang putra terbaik Kalbar, Sultan Hamid II, yang merancang lambang NKRI.Bagaimana dengan kita sendiri? Termasuk tipe penonton fenomena dan korban sejarah, ataukah tergolong orang-orang yang bergerak berjuang menyikapi dan berani aktif dalam sejarah?

Ada fenomena lain dalam masyarakat kita yang perlu penyikapan tegas. Fenomena ini berkait erat, bahkan lengket dengan sejarah. Seperti yang kita ketahui bersama, garis halus pembatas sejarah dan prasejarah adalah pencapaian tertinggi umat manusia, yaitu tulisan. Baiklah lagi, karena untuk sementara kita bersepakat lagi: dalam kenyataannya, kita adalah masyarakat yang tidak memiliki aksara sendiri. Dikatakan sementara karena tokh belum ada penelitian ilmiah mengenai hal ini. Semoga saja anak-anak cerdas kita nanti "terangsang" untuk menelitinya. Jika terbukti ada, kita patut bersyukur. Jika pun tidak, tetap patut disyukuri, karena mereka jauh lebih baik dari kita sebab mau berjuang menyingkap kebenaran. Siapa tahu, setelah provinsi ini kehilangan generasi emasnya dalam peristiwa Mandor, suatu hari kelak, akan muncul generasi-generasi emas yang di antara pencapaian terbaiknya mampu menyusun aksara baru, serta sistem kebahasaan yang baru pula.

Terlepas dari harapan-harapan tersebut di atas, kenyataan bahwa kita tidak diwariskan sistem aksara sendiri, bukan merupakan sebab mendasar bahwa kita tidak bisa mengembangkan kemampuan dasar manusia untuk maju, yaitu membaca, menulis dan berdiskusi. Tiga serangkai inilah senjata utama menelaah dan menyikapi keadaan. Kita layak bersyukur, dalam beberapa dekade terakhir tersirat kegelisahan atas minimnya minat baca tulis yang mewabah ke segenap sendi masyarakat. Masalahnya, kegelisahan ini hanya menjadi topik pembicaraan perintang hari. Siapa yang berani tampil ke depan menyikapi kegelisahan ini dengan tindakan nyata?

Fenomena lainnya adalah kegalauan atas pergaulan remaja kita. Konon ini pengaruh globalisasi yang mencerabut generasi muda dari akar budaya sendiri. Konon ini akibat multikrisis yang melanda negeri, terutama krisis pendidikan. Krisis pendidikan, karena para pendidik terpaksa meringkuk dalam pasungan kurikulum nasional. Akibatnya peserta didik terabaikan dalam pembinaan moral dan kepribadian. Sedangkan di sisi lain, peserta didik dituntut mampu berprestasi, dibebankan bermacam tugas yang entah berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari maupun masa depannya, serta wajib "menjadi orang" setelah selesai studi, misalnya harus meraih cita-cita tertinggi pribumi, yaitu menjadi pegawai negeri. Idem dito dengan fenomena baca, tulis dan diskusi, fenomena pergaulan bebas remaja hanya sekadar "bisik-bisik tetangga" tanpa ada penyikapan nyata.

Di tengah kenyataan yang sedemikian memiriskan hati, muncul banyak harapan. Terutama harapan-harapan baik yang merupakan akibat sepak terjang kaum muda kita yang tak mau berdiam diri. Berkenaan dengan sejarah dalam kaitannya dengan penyikapan terhadap fenomena menumbuhkan minat baca, tulis dan diskusi, serta fenomena pergaulan bebas remaja, maka penulis angkat topi terhadap terbitnya buku Pontianak ‘teenager’ Under Cover, karya penulis muda Kalimantan Barat, Pay Jarot Sujarwo. Angkat topi pula atas kerjasama BEM STAIN Pontianak, Pijar Publishing dan Kitara Creativision yang akan menggelar Seminar Pendidikan: Guru Vs Pergaulan Bebas Remaja, yang akan digelar di Aula STAIN Pontianak, pada hari Rabu (12 Maret 2008) pukul 13.30 s/d 15.30 WIB. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari panitia, narasumber dalam kegiatan tersebut adalah Dr. Bumbunan Sitorus (Motivator, Dokter RSJ Kalbar), Pay Jarot Sujarwo (Penulis buku Pontianak Teenager Undercover) dan Yuni Djuachiriaty, S. Psi, M, Si (Psikolog).

Penulis mencoba menduga, apakah kegiatan seminar ini akan menarik perhatian guru-guru, terutama guru-guru di kota Pontianak dan sekitarnya? Pertama, jika iya, apa sajakah hasil seminar itu selain pesertanya memperoleh serifikat? Apakah ada yang berubah dengan pola interaksi guru-siswa-keluarga-masyarakat dan pemerintah? Apakah akan ada yang berubah dengan pergaulan remaja Pontianak? Apakah juga akan muncul hujanan tulisan dari kaum guru di media massa Kalimantan Barat? Apakah peserta didik akan termotivasi untuk memaksimalkan upaya pengembangan diri? Apakah dari sekian banyak siswa akan muncul sejarawan tingkat dunia? Apakah, apakah dan masih banyak apakah lainnya lagi. Namun yang jelas, harapan-harapan baik layak muncul dari sebuah kegiatan bersejarah.

Kedua, jika ternyata kegiatan ini kurang menarik minat kaum guru, maka bisa jadi Sungai Kapuas dengan Kalimantan umumnya dan kota Pontianak khususnya, memang tidak "berjodoh".

Sekiranya memang kemungkinan kedua yang terjadi, serta jika tanpa sungai Nil tidak akan ada Mesir yang berperadaban tinggi, maka sepertinya ada saran menarik agar masyarakat, provinsi dan negeri ini bisa maju dengan cara mudah. Caranya, kita mengupayakan impor kuda nil untuk dipelihara atau dibiarkan hidup bebas di sungai Kapuas. Apakah ada yang setuju? Jika ada yang setuju, pasti kuda nil.

Pontianak, 09 Maret 2008
Penulis adalah alumni STKIP-PGRI Pontianak.
Telah dipublikasikan di Borneo Tribune, 11 Maret 2008





4 comments:

Buchex said...

eh, kuda nil kan ada di kapuas, namanya "BABI RENGONGKH" ....

hadi ali said...

SALAM REVOLUSI BUNG!!!!SALUT NT PUNYA BLOG...
SATUKAN LANGKAH RAPATKAN BARISAN,DEMI KEBEBASAN..__________ANE MINTA VISUALISASI PICTURE

NYA BRO....!

anakatang said...

ehm ehm...togal!ngopi luk...
mmh...kopi mantap...

samleqom...
apay kabar sangau?!
alhamdulillah nti sehat...

kapuas masih ada?!
alhamdulillah nti ajom koring...

kola' togal..kopi agik nyaman tuk...
mmh....mantab!!!

bila begurau ke situ!?

Anonymous said...

fffffffdddddddddd