10/13/08

PILKADA DAN KEBENARAN YANG GAMANG


Oleh: Amrin ZR

alam upaya mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat, pemimpin memegang peranan yang sangat penting. Demikian pula halnya dengan masyarakat Kalimantan Barat, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung dalam tahun 2007 ini, merupakan peristiwa bersejarah untuk menentukan siapakah sesungguhnya pemimpin yang akan membawa keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan.




Menjelang detik-detik yang sangat menentukan tersebut, konstelasi politik mulai menghangat. Isu-isu politik secara perlahan mengisi ranah komunikasi lisan. Mulai dari pembicaraan bisik-bisik kamar tidur, obrolan hangat ruang tamu, teras, warung kopi, demonstrasi dan lain-lain, sampai pada debat argumen canggih dalam ruang-ruang seminar. Dalam ranah komunikasi tulisan, pesan-pesan politik secara terselubung maupun blak-blakan ditanam, mulai dari SMS, kartu nama, kalender, pojok koran, spanduk dan lain-lain sampai pada baliho-baliho di pingir-pinggir jalan.

Atas nama pendidikan politik, gambaran di atas dapat disebut sebagai upaya sang tokoh yang didampingi sekelompok think tank untuk merebut hati para konstituen. Terkadang, isu yang dipakai bersifat tunggal, yaitu semata puja-puji terhadap kehebatan sang tokoh atau sebaliknya hanya menyerang tokoh-tokoh kompetitor yang lain. Di kadang yang lain, isu yang digunakan adalah racikan yang menggabungkan antara unsur puja-puji yang tak peduli dianggap narsis dan sekaligus serangan terhadap kompetitor. Aspek lainnya adalah subyek, suatu ketika sang tokoh itu sendiri yang menjadi pelaku, di ketika yang lain sang tokoh “meminjam” mulut orang lain.

Dalam beberapa waktu terakhir, isu yang berkembang adalah dugaan korupsi yang disematkan pada tokoh-tokoh kontestan calon gubernur dan calon wakil gubernur. Pemuda dan mahasiswa bersikap, mulai dari gerakan soft yang hanya menuntut para aparatur hukum untuk tidak impoten dalam mengusut kasus dugaan korupsi “orang-orang kuat” tersebut, sampai pada gerakan hard yang dengan lantang berteriak agar Pilkada ditunda.

Para praktisi dan akademisi pun angkat bicara. Kata mereka, para kontestan tetap memiliki hak untuk melaju dalam bursa pemilihan kepala daerah, karena isu korupsi tersebut masih dugaan, belum terbukti di pengadilan dan belum memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat. Kata mereka pula, Pilkada tak mungkin ditunda. Sebab sesuai undang-undang yang berlaku di republik yang konon bercita-cita menuju suatu “masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera” ini, Pilkada baru dapat ditunda jika terjadi bencana alam dan kerusuhan. Bahkan antitesis yang paling sangar adalah tanggapan, sebagaimana dilansir di beberapa media lokal, yang mengatakan bahwa belum ada sejarah pilkada ditunda hanya karena tuntutan mahasiswa.

Gambaran kontradiksi antara harapan (das sein) tentang sosok pemimpin yang mampu membawa masyarakatnya menuju cita-cita bersama dan kenyataan (das sollen) tentang isu korupsi para kandidat cagub, melahirkan banyak pertanyaan. Tanpa mengabaikan kata-kata tanya yang lain yang kerap digunakan kaum asketis (apa, siapa, kenapa, bagaimana, di mana dan kapan), cukup dengan kata tanya “apa” dan “kenapa”, kita sudah menemukan lumayan banyak varian pertanyaan terhadap kontradiksi di atas. Dua di antaranya adalah: pertama, apakah para kandidat cagub Kalbar benar-benar korupsi?; dan kedua, kenapa isu korupsi menerpa para kandidat cagub Kalbar?

Untuk pertanyaan pertama, yang paling berhak menjawabnya adalah aparat penegak hukum dan para kandidat itu sendiri. Dalam masa pasca reformasi yang salah satu konsekuensinya adalah melemahnya kepercayaan terhadap fungsi dan proses penegakan hukum di tanah air, peran lembaga-lembaga yang berkompeten (kepolisian, kejaksaan dan kehakiman) benar-benar diuji. Sejauh mana ketangguhan masing-masing lembaga menyikapi masalah sesuai status dan fungsinya. Dalam hal ini, pengerahan dan pengelolaan seluruh sumber daya yang dimiliki setiap lembaga harus didukung itikad manusia-manusia yang ada di dalamnya. Jika tidak, harapan perbaikan arah perjalanan kebangsaan dan kenegaraan bertitel Indonesia , hanya akan menjadi impian kosong semata.

Sedangkan untuk pertanyaan kedua, banyak kemungkinan jawaban yang tersedia. Bisa obyektif, bisa subyektif. Misalnya, beliau-beliau itu memang benar-benar bersalah. Lantas, ketika orang-orang yang tahu kebenaran dan duduk perkaranya mencoba mengungkapkan, ternyata terkendala masalah kapasitas sekaligus power yang dimiliki beliau-beliau tersebut. Akhirnya, mereka hanya bisa bisik-bisik dari satu telinga ke telinga yang lain. Misalnya pula, isu tersebut dilontarkan ke khalayak oleh para kompetitor. Misal yang lain, pelakunya adalah barisan orang-orang sakit hati, orang iseng atau barangkali oleh orang gila. Misal yang lainnya lagi, hal tersebut adalah jangan-jangan justru merupakan rekayasa yang bersangkutan. Motifnya bisa jadi adalah upaya untuk mempertahankan popularitas. Tokh, jika ada pihak-pihak yang coba mengusik, jawabannya gampang: “Sekiranya saya bersalah, buktikan.”

Bisa jadi pula, yang bersangkutan menganut prinsip jagoan yang selalu kalah di adegan-adegan awal. Menjelang akhir cerita, sang jagoan mengeluarkan jurus-jurus pamungkas untuk mengalahkan lawan-lawannya. Maksudnya, pencitraan sebagai subjek penderita memang disengaja untuk menarik simpati sekaligus memperlama efek “dikenal” dalam benak orang banyak. Sehingga, memperbesar kemungkinan dipilih jika waktunya tiba. Persoalan pembuktian diri tidak bersalah, demi lebih menarik simpati, bisa dilakukan all out menjelang detik-detik terakhir pertarungan.

Dugaan-dugaan, mulai dari yang masuk akal sampai pada yang suuzan sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas, bukan mustahil akan semakin parah dan berpeluang menjadi picu kekisruhan di Bumi Khatulistiwa yang kita cintai ini. Sinyal warning-nya sudah tampak. Akademisi-akademisi sudah memperingatkan agar penanganan masalah kasus dugaan korupsi yang melibatkan para cagub, harus ditangani secara bijak. Misalnya hipotesis tentang akan bereaksinya massa basis masing-masing cagub, jika cagub jagoan mereka mulai diutak-atik oleh pasal-pasal hukum positif. Akademisi-akademisi pun mengingatkan tentang kesejarahan dan peluang konflik yang disebabkan oleh aspek multikultural yang ada di provinsi ini.

Menurut hemat penulis, jika kondisi di atas dibiarkan berlarut-larut, maka orientasi proses pendidikan politik yang berusaha mencerdaskan masyarakat berubah haluan menjadi upaya pembodohan. Betapa tidak, masyarkat disuguhi kegamangan kebenaran. Akibatnya, masyarakat menjadi rabun, penuh prasangka atau justru masa bodoh saat menentukan pilihan tentang siapa figur pemimpin di antara mereka yang paling layak. Dengan tipikal masyarakat pemilih seperti ini, kita patut mempertanyakan kualitas output Pilkada yang bukan hanya perkara “siapa” yang akan menjadi pemenang pemilihan, tetapi juga kemenangan bersama yang ditandai peningkatan kesadaran masyarakat dalam menggunakan hak-hak politiknya.

Sementara itu, dari seluruh teori kepemimpinan dan manajemen, mulai dari era baheula sampai era kesejagatan, dari pendekatan klasik tradisional sampai pada pendekatan dan trik-trik yang diajarkan para motivator kelas dunia dewasa ini, dari organisasi-organisasi yang memang bertujuan membentuk karakter (character buildings) sampai pada pribadi-pribadi sukses yang berangkat secara otodidak, pemahaman mendasar mengenai kepemimpinan sekurang-kurangnya memuat dua hal, yaitu keteladanan dan keunggulan. Lantas, dengan kegamangan kebenaran tentang isu korupsi, bagaimanakah sesungguhya keteladanan dan keunggulan pemimpin-pemimpin yang akan bertarung dalam pilkada nanti?

Dalam hal ini, penulis meyakini asas praduga tak bersalah serta menghormati Hak Asasi Manusia, termasuk kemerdekaan para kandidat Cagub memilih sikap saat dirinya diterpa isu korupsi. Akan tetapi, ketika pemilihan sikap itu berdampak luas dan mempengaruhi arah perjalanan tatanan sosial suatu masyarakat, kenapa pemimpin-peminpin yang sangat kita hormati tersebut tidak memperlihatkan itikad dan dan sikap elegan untuk menunjukan kebenaran tentang dugaan korupsi yang menerpa dirinya? Artinya,jika memang tidak bersalah, kenapa tidak melakukan pembuktian terbalik?

Sekiranya penulis adalah satu orang dari kaum yang gencar menuduh semata, maka penulis layak mendapat kata-kata: “Sekiranya saya bersalah, buktikan.” Tapi, jika penulis adalah bagian dari khalayak yang merasa gamang dengan kondisi yang ada, dengan itikad untuk belajar untuk lebih melek politik, ditambah mulai berkecambahnya kesadaran bahwa satu suara dalam pemilihan tak sekadar angka statistik belaka, ketika bertanya tantang dugaan korupsi tersebut, apakah juga akan mendapat ucapan yang sama? Semoga saja jawabannya tidak. Karena jika jawabannya iya, jelas akan sangat mengecewkan. Sebab, secara tersirat ada kemungkinan jawaban itu dapat ditafsirkan sebagai pembenaran isu korupsi. Bisa pula ditafsirkan sebagai sikap memberikan kesempatan untuk difitnah. Memberikan kesempatan untuk difitnah sama artinya memberikan kesempatan untuk dianiaya. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang tak berdaya melawan aniaya atas dirinya?

Semoga tak terlambat bagi kita untuk mengucapkan: “ Wahai para kandidat Cagub Kalbar, jika ada di antara saudara yang dituduh korupsi, jika saudara benar-benar tidak bersalah, buktikan!”

Pontianak, 25 Pebruari 2007






4 comments:

Anonymous said...

Ngetes morik koment. koti

Anonymous said...

Wakakakkkk...kirakuh tadik tih ada nang morik komen koti-koti...

Anonymous said...

Ngetest komment nih, blom pas settingannya

Anonymous said...

mungkin agak melenceng dari topiknya, menurut saya pilkada langsung memang bagus untuk memilih pemimpin secara demokratis,namun menurut saya jadwal pilkada yang berbeda beda waktu antar wilayah hanya merupakan pemborosan anggaran saja.akan lebih baik jika pilkada yang akan datang dilakukan serentak dengan pilpres dan pilgub.ini sih hanya pendapat saya saja..