2/14/09

Resensi Novel "Gak Tau Neeh...!", Karya Isma Resti Pratiwi

Oleh: Amrin Zuraidi Rawansyah

Dunia perbukuan di Kalbar, khususnya Pontianak semakin marak. Kemunculan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit independen dalam beberapa tahun terakhir, layak untuk diapresiasi. Demikian pula denganconten -nya (rata-rata karya sastra), serta penulis-penulisnya yang jelas-jelas made in West Borneo.

Tentu saja harapan kita semua bahwa perkembangan positif ini tidak menjadi fenomena sesaat belaka. Karena sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, masyarakat yang maju adalah masyarakat yang menghargai seni budaya, baik karya maupun pelakunya. Dengan demikian, bila kita menginginkan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang maju, hendaknya kita mulai belajar merawat dan mengembangkan "pertanda-pertanda" kemajuan yang telah ada, termasuk perkembangan dunia buku di Kalimantan Barat.

Semua buku yang diterbitkan penerbit-penerbit independen memiliki kekuatan khas. Salah satunya adalah buku "Ga' Tau Neeh...!!!" (GTN). Novel setebal 190 halaman (9x18cm) ini diterbitkan Kitara Creativision yang bermarkas di Jl. Tabrani Ahmad, Gg. Setara 1, Pontianak. Catatan istimewa pertama adalah bahwa penulis GTN ini masih duduk di kelas VIII, Madrasah Tsanawiyah 1 Pontianak. Ketika larut pada lembar-lembar pertama, yang mengisahkan "kerja bakti" pada suatu pagi di sebuah kelas, kita akan terperanjat. Bukan pada istilah kerja bakti itu sendiri yang berarti nyontek bareng, melainkan karena kelas yang dideskripsikan dengan "sedemikian cantik" adalah sebuah kelas XII sekolah menengah atas. Sampai di sini saja kita sudah acungkan dua jempol. Jempol pertama untuk kemampuan deskripsi yang "cantik". Sedangkan jempol kedua untuk kemampuan observasi "fisik-batiniah" penulis. Maksudnya, penulis mampu menangkap dan menerjemahkan situasi SMA, sedangkan si penulisnya itu sendiri masih SMP. Kemampuan ini jelas merupakan aset berharga Isma selaku penulis.

Sementara itu, perwatakan tokoh-tokohnya sangat hidup. Avel yang menjadi tokoh utama, bener-bener ngegemesin. Cakep, cuek, rada ceriwis dan sukses ditampilkan sebagai Ratu Kelas. Para "figuran" pun tampil dengan keunikan masing-masing. Ada Abe yang baik hati, ada Nicko yang playboy, ada Ndut yang suka makan, ada yang bolot, yang suka ngegosip, ada yang sok seleb, dan lain-lain. Mereka-mereka ini kawan sekolahnya Avel.

Sedangkan para guru dilukiskan dengan "kacamata" yang pure sudut pandang siswa. Ini menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Gelar-gelar khusus kepada guru-guru tertentu yang diberikan siswa, seperti dalam novel GTN, hendaknya dilihat dengan frame tepat. Ini bukan hanya terjadi dalam cerita fiksi, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Gelar-gelar itu bukan bermaksud menghina atau merendahkan martabat pribadi dan profesionalisme sang guru, melainkan suatu bentuk komunikasi sosial komunal antar siswa. Komunikasi komunal ini tidak hanya terbatas dipahami sebagai "saluran" uneg-uneg belaka, tetapi juga mengindiksikan terdapatnya barrier atau penghalang antara siswa dan guru. Artinya, siswa sebagai pebelajar (meskipun kurikulum katanya berganti!) tetap diposisikan sebagai objek belaka. Feedback dari si pebelajar semata berupa nilai-nilai kuantitatif hasil pe-er, ulangan, ujian dlsb. Pebelajar tidak mendapat hak belajar sesuai keinginan dan porsi intelektualismenya. Hal ini disebabkan sistem pendidikan dirancang dan dilaksanakan dengan keyakinan bahwa hal yang sedemikian itulah yang "baik dan benar" untuk siswa.

Cara pandang tersebut analog dengan istilah "Mata Elang"-nya Muhammad Yunus, peraih nobel dari Bangladesh, dalam melukiskan cara kerja ekonom dunia tentang program terbaik bagaimana mengatasi kemiskinan di negara-negara dunia ketiga. Para ekonom dunia ini, menurut M. Yunus, ibarat elang yang berputar-putar di angkasa mencermati hamparan kemiskinan. Lantas, setelah mengamati dari angkasa, ekonom-ekonom ber-"mata elang" ini kemudian menyusun serangkaian program pengentasan kemiskinan. Selanjutnya, bagai peri turun dari kayangan, ekonom-ekonom itu memercikkan program-programnya di wilayah kemiskinan.

Andai saja hidup ini semudah sulap yang ditawarkan "peri-peri ekonom ber-mata elang", tentu kantong-kantong kemiskinan di seluruh penjuru bumi gampang dientaskan. Ternyata, program-program dari "angkasa" itu tak mampu mengatasi masalah. M. Yunus kemudian merombak cara pandangnya dengan pendekatan "mata cacing". Artinya, sebagai ekonom yang belajar di pusat-pusat peradaban dunia, ia harus mencampakkan "mata elangnya" dengan terjun langsung di kantong-kantong kemiskinan. Program-programnya menjadi nyata karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat miskin.

Demikianlah, penceritaan Isma dalam GTN dengan berani mengabarkan pada dunia tentang kesombongan orang-orang yang menyebut diri sebagai pakar pendidikan. Ternyata postulat-postulat paedagogik-nya tak ubahnya "mata elang". Mudah-mudahan, para pakar pendidikan yang sedang mengangkasa itu, mau menyempatkan diri singgah di sebatang pohon dan membaca GTN. (Yuk, doa bareng-bareng...!)

Namun GTN sebagai sebuah cerita, terdapat di dalamnya sejumlah perkara kecil yang menurut hemat saya, patut disayangkan. Misalnya pada teknik solusi dan resolusi yang pada beberapa bagian melemahkan bangunan cerita yang sebelumnya sudah disusun kuat. Misalnya pada bagian Pak Beo yang akan memberikan hukuman pada hari Jumat. Motif tiap pelaku logis. Deskripsi sangat apik membangun konflik. Suspens-nya keren. Sayangnya, ketika sampai di titik menentukan, Pak Beo-nya tiba-tiba saja membatalkan hukumannya dengan alasan moodnya lagi hepi. Tanpa maksud men-justifikasi, penyelesaian seperti ini terkesan terlalu digampang-gampangkan. Sayang sekali, bukan? Padahal dengan nafas batin dan nafas imajinya, seandainya Isma mau meluangkan sedikit waktu untuk menangani perkara remeh ini, kita percaya bahwa GTN akan semakin "berwibawa".

Meski demikian, GTN tetap menggigit dengan plot "besar"-nya yang memelihara keingintahuan pembaca untuk terus melahap baris demi baris, alinea demi alinea, bab demi bab sampai selesai. Untuk pelajar, GTN jelas gue banget!. Untuk ortu, guru (plus calon guru), GTN sangat informatif sebagai sarana membaca ulang hubungan mileau pendidikan. Untuk pakar pendidikan: "Sudikah sekiranya Paduka berhenti sejanak mengangkasa?". Untuk masyarakat umum, Pontianak dan Kalbar, GTN dan penulisnya jelas merupakan aset dalam menyongsong Generasi Emas Kalimantan Barat.

Terakhir, kepada mereka-mereka yang sudah memiliki dan membaca GTN, mudah-mudahan ada pihak yang mau mengadakan bedah buku. Sehingga kita bisa saling tukar pikiran. Sedangkan kepada yang belum memiliki dan membaca Ga' Tau Neeh...!, apakah ga' nyesel neeh...?!

Salam Perubahan Menuju Kebaikan!


No comments: