2/14/09

DICARI: NEGARA DAN PEMERINTAH

Oleh: Amrin Zuraidi Rawnsyah

Para Pendiri Bangsa (Founding Fathers) yang visioner telah mengamanatkan bahwa salah satu tujuan berdirinya republik ini adalah "memajukan kesejahteraan umum" bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia. Hal ini sejalan dengan pandangan banyak Teori Negara bahwasanya kesejahteraan bagi rakyat merupakan prioritas utama adanya suatu negara.
Namun dalam konteks kekinian dan ke-Indonesia-an, tanpa perlu menjulurkan kepala tinggi-tinggi untuk melihat tempat yang jauh-jauh (jika dikaitkan dengan Evolusi-nya Darwin, bisa-bisa akan jadi jerapah(?)), cukup dengan melihat sekeliling, kita akan mengetahui betapa cita-cita mulia Indonesia ber-negara menjadi semacam utopia belaka. Lihat saja fasilitas publik, jalan misalnya, banyak lubang yang jika diperbaiki pun polanya tambal sulam. Seorang rekan penulis yang merupakan penulis di negeri jiran pernah dengan nada membanyol memberikan komentar. Katanya, ia bisa membedakan apakah masih berada di negaranya ataukah sudah masuk wilayah Indon saat berada di dalam bus. Jika saya tertidur, katanya, ia masih di negaranya. Namun ia segera tahu bahwa dirinya sudah masuk negara yang konon gemah ripah loh jinawi ini jika dirinya terbangun oleh ban bus yang terantuk lobang. Duh, betapa marwah sebagai anak bangsa tersayat oleh joke yang sungguh-sungguh nyata itu. Dengan senyum yang tak sempurna, penulis tinggal berkomentar: "Rights or Wrongs, it is My Country!" Untunglah (untung terus!) si sahabat dari jiran itu belum mengunjungi wilayah lain di propinsi yang pernah mengenyam status Daerah Istimewa ini, yang akses jalannya jauh lebih "indah". Misalnya di perhuluan Kapuas ataupun perhuluan Ketapang. Penulis yang dalam beberapa tahun terakhir, untuk urusan keluarga, sering berkunjung ke wilayah perhuluan Ketapang, merasakan betapa "dahsyatnya" layanan republik ini kepada warga negaranya dalam aspek infrastruktur jalan. Terutama ruas Siduk-Sungai Kelik yang notabene merupakan jalan propinsi. Medannya, barangkali, sangat dicintai para off roader sejati. Aspal yang terkelupas, berbatu, tanah liat, berlubang dan sebagainya.
Musim kemarau, laju kendara mengakibatkan jalanan berdebu. Daun-daun pohon yang pada beberapa bagian masih menjulang, berubah menjadi daun-daun tambaga. Sedangkan dimusim penghujan, lubang-lubang jalan berubah menjadi kubangan lumpur yang siap "menelan" pengendara yang tak mahir dan kurang awas. Kondisi ini bagi sebagian masyarakat merupakan ladang rezeki. Misalnya jasa pencucian motor dan mobil yang tumbuh bagai jamur dimusim penghujan di daerah Siduk dan sekitarnya. Bagi sebagian masyarakat yang lain, memperbaiki jalan yang hancur berantakan dapat dijdikan lahan bisnis. Caranya, masyarakat bergotong royong membuat jembatan atau membuatkan jalan alternatif, lantas bagi pengendara akan dikenakan tarif tertentu jika ingin lewat. Hal ini lazim disebut meting atau meteng. Sepeda motor yang melewati meting dikenakan tarif seribu rupiah. Mobil biasanya lima atau sepuluh ribu rupiah. Sedangkan truk bermuatan dikenakan tarif yang lebih tinggi.
Bagi sebagian pengguna jalan, hal ini dianggap lumrah. Karena perbaikan jalan membutuhkan modal tenaga, waktu dan biaya, jadi wajar jika orang-orang yang memperbaiki jalan memungut bayaran. Namun, bagi sebagian yang lain, kondisi ini adalah "hil yang mustahal" terjadi di sebuah negara yang konon berdasarkan Pancasila dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan di dalamnya. Sebagian pengguna jalan yang lain mencoba arif. Wajar tidaknya suatu meting bersifat kasuistik. Jika kondisi jalan benar-benar hancur berantakan dan dibuatkan jalan alternatif, maka wajar para pembuatnya mendapat reward. "Anggap saja jalan tol," ujar seorang kawan. Ketika disusul dengan pertanyaan tentang perizinan dan transparansi pungutan, kawan tersebut berkomentar: "Di negara yang serba maklum ini, ya, maklum-maklum sajalah."
Namun kasusnya berbeda jika perbaikan itu dilakukan pada badan jalan yang sudah dibangun pemerintah. Logikanya, kerusakan jalan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini propinsi dan pusat. Jika pun ada perbaikan oleh masyarakat, maka dalam perspektif nilai-nilai ketimuran, agama dan PPKn yang diajarkan di sekolah-sekolah, maka perbaikan itu merupakan kegiatan gotong royong demi kepentingan bersama. Jika sudah begini keadaanya, dalam hati kita akan bertanya: Di mana nilai-nilai ketimuran yang diagung-agungkan itu? Di mana nilai-nilai agama yang disemai para pemuka agama? Di mana nilai-nilai PPKn yang konon merupakan mata pelajaran wajib di setiap jalur, jenjang dan tingkat pendidikan di tanah air kita?
Penulis sepakat bahwa persoalan infrastruktur jalan dan mental meting merupakan sesuatu yang bersifat kompleks. Mulai dari sistem kenegaraan dan pemerintahan, supermasi hukum, otonomi daerah yang setengah hati, tatanan masyarakat yang berubah seiring gerak dinamis peradaban mundial, sampai pada persoalan teknis lapangan misalnya dugaan korupsi setiap pengerjan proyek dan over dosis-nya muatan kendaraan.
Hanya saja, sebagai warga sah dari sebuah negara bernama Indonesia, yang menurut sejarawan Muhammad Yamin, merupakan proyek besar Nusantara III (setelah Sriwijaya dan Majapahit), kita akan mengajukan banyak pertanyaan: "Di mana sih sesuatu bernama negara dan pemerintah itu ketika warganya terjebak kubangan lumpur?"

Siduk-Sandai, Medio Desember 2007
Amrin Zuraidi Rawansyah

No comments: