2/21/09

Perjalanan ke Sepuk Laut 3

Oleh: Amrin Zuraidi Rawansyah

Jumat, 20 Februari 2009

Sebelum membuka tas kecil, mengambil buku agenda dan pulpan, aku mengambil ponsel. No Service. Demikian tertera di layar ponsel. Angka-angka digital menunjukkan sekarang pukul 07.56 Wib. (Semoga guru-guru bahasa Indonesia-ku senang!)

Kami berempat sudah di kapal klotok. Hendak kembali ke Pontianak. Aku dan Hamdan di atap, Eman dan Jaka di bawah. Angin cukup kencang. Muka air beriak tenang. Meski matahari tertutup sesusun mega kelabu, cahayanya masih sanggup membuat bayangan sebotol air minuman mineral ukuran 1500ml tampak memanjang. Demikian pula bayangan Hamdan yang duduk di depanku. Juga penumpang-penumpang lain. Sekelompok pemuda merintangi waktu dengan bermain gaplek. Ada beberapa penumpang yang duduk-duduk sendiri. Melamun menatap kejauhan. Barangkali menyusun rencana-rancana. Beberapa penumpang lain berdiri, berbincang, seraya saksama menatap arah utara.

Muara sungai Sepuk Laut sudah tak terlihat. Kiri-kanan sungai (atau selat?) hijau oleh barisan rapi gerumbul nipah. Sesekali terselip bakau. Angin dari haluan membuat kepalaku dingin. Aku menarik nafas seraya mengusap ubun-ubun.

“Ubun-ubunmu masih lembut, Nak,” kalimat itu terngiang begitu saja dalam sukma. Aku bengong. Dari siapa aku pernah mendengarnya? Kapan? Bagaimana peristiwanya kalimat itu bisa terekam dan sekarang diputar ulang? Untukku-kah? Mmmhhh...aku menggeleng tak mengerti. Kualihkan pikiranku pada sosok khas yang baru datan. Eman meloncat dari haluan. Dengan sarung kamera di pinggang kanannya, ia tempak gagah (atau menggagah-gagahkan diri? Menggagahi diri sendiri?)

“Tadi ngobrol di bawah, dengan Pak Sekdes,” ujar Eman. Aku manggut. Tadi kulihat Pak Sekdes memang naik ke klotok dan sempat aku memberi tabik hangat.

Tiba-tiba aku teringat tadi malam. Bakda Isya, kami bertiga, zonder Jaka, berangkat ke rumah Pak Ismail. Di antara bincang-bincang, rupanya Pak Ismail memiliki rumah di Pontianak.

“Adek nie tinggal di mane di Pontianak?”

“Sebenarnye saye nie, kalau di Pontianak, nomaden Pak. Pindah-pindah. Tidok di rumah-rumah kawan. Tapi di Pontianak, secare resmi saye tinggal di tempat Abang saye.”

“Di mane tu?”

“Jeruju.”

“Gang?”

Aku menjawab nama gang tempat Abangku berdomisisili. Tiba-tiba raut wajah Pak Kades yang simpatik itu, sumringah.

“Jadi Abangmu yang pakai motor besak tu, ye?”

Hah? Aku terkaget-kaget.

“Kitak yang dari Sanggau tu, kan?” tanyanya lagi dengan nada yang tak memerlukan jawaban. Tiba-tiba Pak Kades memanggil istrinya. Istrinya keluar dari ruang dalam dengan membawa talam berisikan beberapa teh hangat.

“Kau kenal ndak ngan orang nie?” tanya Pak Kades pada istrinya seraya mengarahkan pandangannya padaku. Bu Kades mengernyitkan dahi. Mengingat-ingat. Tapi tak menemukan sesuatu. Aku membantu dengan menyebut beberapa detail mengenai Abangku, kakak ipar dan si ponakan. Barulah Bu Kades mengangguk-angguk.

***

Kami diarahkan Pak Kades ke rumah Sekdes.

“Sekitar satu kilo dari sini. Setelah pe-el-en,” ujar seorang pemuda di teras rumah Pak Kades. Kami pun kemudian bergerak ke hulu. Siang saja harus berhati-hati karena kami belum terbiasa dengan jalan gertak, apalagi malam? Jadi kami bergerak tak terlalu cepat. Sembari menyapa penduduk, mohon permisi lewat dan berbagai ungkapan ketimuran lainnya, kami selalu diarahkan ke hulu, pokoknye setelah pe-el-en.

Sampai kami berpapasan dengan dua penduduk. Kami jelaskan sedang menuju rumah Pak Agus, Sekdes Sepuk Laut. Ternyata orang yang kami tanya justru Pak Agus yang kami cari. Sambil jalan ke rumahnya kusampaikan preview maksud kedatangan kami. Pembicaraan dilanjutkan dengan lebih hangat di rumahnya.

Pak Sekdes Sepuk Laut masih muda. Sama atau malah lebih muda dariku. Energik. Belum menikah. Namun yang pertama dan terutama sekali, Pak Sekdes antusias dengan maksud kedatangan kami. Setelah data-data umum diperoleh (karena kami pra survey), kami undur diri.

***

Angin masih bertiup kencang. Kabut tipis tampak di semua arah. Mungkin akan kemarau. Aku tersentak. Aku juga punya kemarau di hatiku. Aku hentikan menulis. Memikirkan dengan saksama kecamuk diri.

***

kembali ke atas

3 comments:

Anonymous said...

Makanya boss, ko pulang tuch, sering-sering nongkrong di teras ... Siapa tau ada layangan putus, khan bisa ikutan olah raga rebutan layangan he he he

Dwi Wahyudi said...

Salam persahabatan dari seorang blogger borneo...

BENUAPKR said...

YUK JOIN SITUS POKER ONLINE AMAN DAN TERPERCAYA WWW.ROYALFLUSH99.COM BURUAN GABUNG...