10/6/07

WARUNG KOPI MENGEJA MATA KAKI

Warung kopi mengeja mata kaki, pada malam siaran langsung liga sepak bola eropa, ketika sendok-sendok berteriak, gelas-gelas berteriak, piring-piring berteriak, meja-meja berteriak, bangku-bangku :berteriak, dinding-dinding berteriak, pintu-pintu berteriak, saat itulah tangisan beribu ibu mendesak dari lipatan bajumu tentang anak-anaknya yang mati atas nama heroisme di papan-papan catur.

Mata kakimu turut menangis. Seperti asbak yang meluapkan abu dan puntung-puntung rokok. "Atas nama kemanusiaan, hentikan bisnismu!" Tapi, kita harus bikin perhitungan dengan wangi parfum, tapi kita harus cukur jenggot sebelum kiamat, tapi kita harus candle night dinner bersama Solobodan Milosevic, kita harus mewawancarai mata kakimu, tapi kita harus mengasamkan air mata beribu ibu lain yang berebut diskon di pusat-pusat perbelanjaan, lantas masih sempatkah kita jalan-jalan di buku harianmu?

Lihat baik-baik meja Mister Presiden kita yang jelita. Buku harianmu tergeletak begitu saja di salah satu ruas jalan menuju pusat perbelanjaan, persis di samping mug kopi pancung. Pada sebuah halaman yang terbuka, terdapat pintu menuju tangisan pilu sertifikat tanah yang diperkosa. Juga hutan-hutan adat. Juga kuburan-kuburan leluhur. Sekarang, maukah buku harianmu meniti seutas kalung menuju kuburan leluhur?


30.10.07


No comments: