2/20/09

Perjalanan ke Sepuk Laut

Oleh: Amrin Zuraidi Rawansyah

Kamis, 19.02.09

Steigher Sungai Kakap. Aku, Eman, Hamdan dan Jaka sudah berada di dalam kapal klotok. Beberapa penumpang, termasuk Jaka, tampak lelap.

“Jam tiga kurang dua puluh menit,” jawab Eman, saat kutanyakan waktu. Eman tersenyum, membanggakan jam tangannya, sekaligus memamerkan senyumnya yang menawan.


Hamdan langsung menanggapi. Dulu, ketika masih SMA, ia dan kawan-kawan sekelasnya menjawab: “jam sepuluh kurang delapan menit.”
“Berarti min dua!” kata guru bahasa Indonesia mereka.

Semilir angin menerobos lewat pintu dan jendela kapal klotok dengan leluasa. Menyegarkan. Soalnya, matahari awal kemarau, di luar sana, sedang melotot tajam. Setelah memperhatikan penumpang yang berjumlah sekitar duapuluhan, kuarahkan pandangan ke luar.

Sebuah kapal klotok, berukuran sedikit lebih kecil, dengan kap bercat hijau daun, yang berada di samping klotok ini, bergoyang pelan. Air sungai kecoklatan, yang membawa lumpur dan jasad renik, berombak kecil. Beberapa klotok lain, bersandar di steigher seberang. Rumah-rumah, beratap daun, seng, terdiam seperti menunggu nasib. Pohon-pohon pisang, kelapa, menari-nari…

Grmhhhh…!!!.. Grmhhhh…!!!.. Grmhhhhhhhh…!!!..

Aku dan Hamdan terperanjat. Kami yang sedang ngobrol tentang kemungkinan Latihan Alam KSJL dan Diksar KSR, terpaksa memutus pembicaraan. Kemudian mengurut dada. Menoleh ke sekeliling. Kemudian saling pandang. Lantas sama-sama tersenyum. Soalnya, dari semua penumpang kapal, hanya kami berdua yang terkaget-kaget saat engine klotok dihidupkan secara otomat oleh driver di balik kemudi.

Saat kapal hendak bertolak, kami mencari-cari sosok Eman. Tadi ia kami sarankan mengambil pict dari arah steigher. Dengan pict-pict tersebut, kami berharap akan memudahkan pelaporan tentang perjalanan survey pada Panitia Bina Desa.

Hamdan menduga Eman berada di atas atap klotok. Aku menduga lain, jangan-jangan Eman telah menjadi bahan bakar engine. Kami bergerak ke atas atap klotok. Benar dugaan Hamdan. Bak fotografer National Geographic, Eman membidikkan kamera digital Ben-Q kemana-mana. Terbersit dalam benakku, jangan-jangan bukan mengambil pict untuk laporan tapi justru mengambil pict gadis-gadis yang banyak berdiri di steigher. Kita buktikan nanti!
Setelah sempat merunduk tatkala klotok melewati jembatan Kakap, sesi foto-foto dilanjutkan. Sekali ini, kami yang memang tidak berbakat jadi foto model berusaha tampil dengan eksyen terbaik. Tentu dengan style berbeda. Tentu dengan tujuan berbeda. Jika Hamdan terus terang mengatakan foto-foto ini nantinya akan ia masukkan ke FS-nya, maka aku berencana untuk Blog-ku. Eman? Entahlah. Mungkin untuk dibawanya ke dukun supaya mendapatkan ajian pengasihan.

Klotok yang kami tumpangi perlahan meninggalkan Sungai Kakap. Membelah muara. Melewati beberapa Ambai dan Rompong yang sunyi, melukiskan perjuangan manusia mengatasi hidup. Pada awak kapal yang masih belia, Husin, kutanyakan tentang cara kerja masing-masing alat penangkap ikan tersebut. Saat menjelaskan Ambai, yang terbayang olehku saat jaring diangkat, bukanlah udang-udang segar, melainkan Eman yang sedang mengenakan celana boxer bajakan. Juga saat menjelaskan Rompong, bukan udang atau ikan yang berenang diarahkan susunan pagar, lagi-lagi Eman yang tergambar dalam benakku sedang berenang memakai google, memamerkan senyum khasnya yang menawan seraya melambaikan tangan, mengisyaratkan tanda minta di foto. (Duh, maafkan aku, Eman, atas bayangan-bayangan “indah” ini…)

Masih di Kamis, 19.02.09.

Aku, Eman dan Hamdan sedang duduk di ruang tamu rumah Mak Long-nya Jaka. Jaka, dalam perjalan ini menjadi guide bagi kami. Sekarang ia sedang temu kangen dengan sanak keluarganya di rumah-rumah sekitar sini. Ada empat gelas kopi. Ada rokok mild BI. Ada perasaan masih berada di kapal klotok. Terasa masih ada angin kencang menampar-nampar muka. Deru mesin masih terngiang di membran telinga. Demikian pula dengan getaran mesin dan ayunan badan klotok serasa masih membuntuti indera.

Sampai juga ke Sepuk Laut, pikirku. Beberapa pekan lalu, saat berbincang dengan Bang Harizan di kantin Wapres Taman Budaya, kami sempat membicarakan perkara asal-usul nama sebuah daerah. Termasuk membicarakan nama Sepuk Laut. Dari dulu aku sudah mendengar nama ini. Kuat sangkaanku, kata “Sepok” identik dengan pemahaman tentang fenomena manusia yang baru tahu tentang sesuatu. Saat berbincang dengan Bang Harizan, baru aku tahu, aku salah. Kata “Sepok” merujuk pada pengertian kondisi tanah yang khas pada daerah pesisir. Aku juga baru tahu, saat tadi melewati kantor desa, penulisan nama desa bukan menggunakan huruf “O”, tetapi “U”, sehingga yang benar adalah “Sepuk Laut”.

Sambil membicarakan tentang kesan-kesan pertama saat tiba di sini, aku teruskan menulis. (Tapi, aouw…! Kopi dalam gelasku sudah habis!)

Tadi, kapal klotok memasuki muara Sungai Sepok Laut, ketika formasi jarum di jam tangan Eman menunjuk angka pukul lima kurang belasan menit. (Duh, maafkan aku guru-guru bahasa Indonesia-ku…). Hal pertama yang menarik minatku adalah kesan muaranya yang seolah menyembunyikan sesuatu energi besar. Malamnya aku baru tahu, menurut penuturan Pak Agustiansyah, Sekdes, Desa Sepok Laut memang pernah di teliti oleh sebuah perguruan tinggi dari Jawa (sana) untuk mengetahui kandungan gas bumi. Sepok Laut, diam-diam menyimpan potensi gas metana yang luar biasa. Hal kedua adalah bangunan Pekong yang tepat terletak di muara. Seolah menjadi benteng sekaligus bangunan yang simpatik mengucapkan kalimat “Selamat Datang”. Berarti di sini banyak orang Tionghoa, pikirku.

Dugaanku tak terlalu salah. Setelah melewati bangunan Kamla, klotok merapat pada sebuah bangunan yang kuduga merupakan tempat bongkar muat kapal-kapal nelayan. Jaka, mengisyaratkan untuk naik. Eman sibuk foto-foto. Kalau tak diingatkan, mungkin ia akan terus saja jepret sana jepret sini. Kami, bersama beberapa penumpang lain, melompat dari atap klotok ke atap kapal nelayan. Setelah melewati tiga kapal nelayan, kami bak pemanjat dinding profesional, naik menuju bagian panggung tempat bongkar muat ikan. Maklum, memang tidak ada tangga. Apalagi kondisi sungai sedang pasang surut. Dengan nafas yang lumayan terengah (maklum jarang olah raga) kami beradaptasi dengan daratan. Eman sesekali tampak oleng.

Kapal klotok, yang didalamnya masih banyak penumpang, meneruskan perjalanan ke bagian hulu sungai. Kami bergerak menuju bangunan Pospol dan Kamla. Melapor diri dan maksud kedatangan. Kemudian, sementara Jaka menuju rumah keluarganya, kami mencari warkop untuk sekadar re-charge. Eman dan Hamdan yang memang bukan “kaki” warkop minum haus.

“Dari kelas tige esde, warkop memang dah jadi kantor Abang,” jelasku pada Hamdan.

“Kalau Abang kite nie, Ndan, kopi pancong pon bise tahan duak tige jam,” imbuh Eman bak para pakar yang sering berdebat di televisi.

Mengingat waktu, kami bertiga memutuskan pergi ke rumah Kades. Maksudnya hanya melapor diri, silaturahmi dan membuat janji pertemuan bakda Isya malam nanti. Rumah Pak Kades mudah di temukan.

“Setelah jembatan, ada toko bangunan. Nah, setelah itulah rumah Pak Ismail,” terang seorang bapak-bapak. “Ingat, ya, rumah Pak Ismail sebalah kanan,” lanjut bapak-bapak itu lagi. Entah kenapa bapak-bapak itu harus memberikan tambahan penjelasan. Padahal telah di ulangnya berkali-kali. Mungkin niat baiknya agar kami tidak lupa. Tapi aku curiga, beliau terpaksa menjelaskan ulang lantaran melihat Eman yang masih kebingungan mana timur mana barat, mana utara mana selatan.

Jalan di Sepok Laut rupanya rupanya didominasi gertak (jembatan kayu). Kami bertiga berjalan dengan hati-hati. Pada banyak bagian kondisi gertak memang bagus. Bahkan bisa digunakan sebagai panggung dangdutan Kak Oma. Tapi banyak juga bagian gertak yang memperihatinkan. Harus dilewati dengan hati-hati jika tidak ingin tercebur.

Aku sependapat dengan ungkapan Pak Sekdes, Agustiansyah, saat kami bertamu malam harinya: “Sepok Laut selama ini di anak tirikan.”

***

4 comments:

Delhi Escorts said...

People come to me and say that now good posts are not available. Now I will give them link of this post. Surely, my step will change their thinking.

Learn Digital Marketing said...

That is an extremely smart written article. I will be sure to bookmark it and return to learn extra of your useful information. Thank you for the post. I will certainly return.

Buy Contact Lenses said...

Nice post, things explained in details. Thank You.

App Development Company in Delhi said...

Hi, extremely nice effort. everybody should scan this text. Thanks for sharing.